Wednesday, November 02, 2005

produk kultural

Hari ini, 1 November 2005, Financial Times memuat tulisan tentang produk kultural RRC. Tertulis bahwa pemerintah Cina sejak tahun 2000 aktif mendorong tumbuhnya industri kultural dari mulai seni vokal, fashion, erotisme (ini rasanya unofficial), media, sampai sinematografi. Singkatnya, koran itu bilang kalau "Chinese are no longer willing to play manual to the west's mental labor"

Tiga bulan lalu, kafe Gelatto di Dharmawangsa Square, gue terlibat obrolan dengan seorang budayawan/dosen Pelita Harapan dan seorang antropolog/calon S-3 sosiologi Kyoto Univ. Yuka, si budayawan bilang kalo secara budaya dia milih menjadi bangsa seperti Cina ketimbang menjadi bangsa kayak Indonesia sekarang. Alasan dia, secara kultural kita tereksploitasi, secara ide kita terkooptasi, secara materi kita kere. Secara umum menurut dia globalisasi menggiring kita menjadi pengemis. Dia bilang perlu rasanya revolusi kebudayaan Mao Ze Dong dibawa ke Jakarta supaya anak2 muda kita yg keleleran di mall, sok asik separo-separo berbahasa Inggris tau apa artinya memiliki bangsa. Hipotesa dia adalah dengan revolusi kebudayaan, secara bangsa Cina akhirnya bisa melahirkan sinematografer sekaliber Wong Kar Wai dan John Woo. Sementara secara kultur kita masih macet sebatas film AADC, iklan obat masuk angin, dan sinetron bertemakan orang kaya atau demit.

Dave Lumenta, si antropolog, nggak terlalu setuju. Satu, dibandingkan jaman kolonial, dia bilang Indonesia mengalami de-globalisasi. Dulu batasan negara kabur, orang gampang pindah2 antar batas wilayah tanpa memusingkan batas kenegaraan. Kedua, invasi kultur pop Jepang dan to certain extent Korea dan juga Cina adalah bentuk rebelion terhadap budaya pop barat. Lah ? "Cool Japan" sudah meng invasi sentra budaya dari New York hingga nadi eropa kontinental seperti Paris dan London. Komik anime, manga, sushi lounge, game sudoku, musik J-Pop, menjadi sesuatu yg sangat cool. Belum lagi fenomena dan trend gadis2 Shibuya yg akhirnya menjadi patokan riset perusahaan besar seperti provider ponsel Vodafone. Intinya, Dave bilang kalau Asia punya interpretasi lain terhadap pop kultur barat. Karakter Britney Spears, Spice Girls, dicerna oleh Asia lalu terus diinjak2 lewat karikatur anime dan diludahkan kembali ke muka publik barat lewat film Kill Bill.

Ok, fine. Gue tanya, "kita Indonesia ada di mana?" Yuka ketawa sinis, Dave cuma narik DjiSamSoe. Kita ya itu, macet di film Eiffel I'm in Love, iklan-2 obat masuk angin, sinetron dukun, dan so what gitu loochh

1 comment:

  1. A 21st Century Cultural Revolution in Indonesia? wow, your friend's got a pretty extreme point of view...

    Ours is a premature one and yes, we're only at the level of AADC, Eiffel Im in love *hueeek, btw*,and yes it is kinda frustrating. But i prefer to have these than what China had in the Mao era.

    ReplyDelete