Tuesday, February 03, 2009

Transfer Is Not Social Cost

I can not believe that Yudi Latif, in today's Kompas Analisis Politik, doesn't get the social cost-benefit analysis of general election right (and presumably, the Kompas editor, too).

We know the benefit of general election is to have better government and public services provision. But apparently it takes a bit of more time to understand its cost.

Yudi thinks the political ads spending is social cost. It is not. The same goes for the spending of political consultancy, polling, printing banners, free T-shirt, and even money politics. They are all transfers. The money does not go out of the economy --or GNP, as Yudi said. It just has the ownership shift from politicians to advertising company, political consultant, T-shirt maker, and potential voters.

Does it mean general election doesn't have social cost? No. When you involve in and spend resources for general election-related activities, alternatively you can work on something more productive --perhaps by staying in academics. Your time and energy to otherwise produce good lecture is the social cost.

The overall election's social cost can be higher or lower than the benefit, but you'd better be clear on this. Particularly when you relate this to someone's argument that democracy is more suitable to the nation with economic surplus than one with deficit (whatever it may mean).

Maybe, but surely not because of such cost-benefit analysis.

5 comments:

  1. kalo diliat semua entitas ekonomi sebagai satu kesatuan, pendapat Yudi ada benarnya. Dan lagi, tumbuhnya model bisnis baru atau demand (adv. company, consultant dst) sbg ekses kampanye adalah bagus. Dulu sebelum internet hadir ke Indonesia, tidak dikenal warnet, profesi teknisi, demand thd modem dst.

    Kalo anda kan melihatnya dari opportunity cost. Persoalannya, teori mana yg cocok digunakan u analisis.

    Saya pernah belajar akuntansi. Coba jelaskan komponen2 apa saja yg bisa dihitung dg Cost-Benefit Analysis. Bagaimana kalau Benefit atau Costnya bersifat qualitatif atau baru bisa diukur setelah 100 hari memimpin. Bahwa ternyata presiden terpilih tdk mampu melaksanakan janji2nya atau kinerjanya jelek.

    Saya kira masalahnya adalah tidak adanya batasan maksimum nominal dana kampanye yg boleh digunakan. Nah kalo sudah jadi anggota legislatif, mulai deh mikir gimana uangnya supaya balik. Entah dg cara kasar (korupsi) atau halus (mata anggaran aneh). Itu costnya :)

    ReplyDelete
  2. sonny, terima kasih. Saya rasa untuk analisa politik pemilu, opportunity cost lebih tepat ketimbang accounting cost. Apalagi jika unit pengamatannya adalah "kepentingan bangsa" (apapun artinya itu).

    Soal komponen CB Pemilu, berikut, kira-kira, salah satu contoh rinciannya (tentu belum lengkap):

    Benefit (antara lain): pemerintahan yang bersih dan efisien dalam memberikan layanan publik, adanya aktivitas ekonomi baru yang memberikan lapangan pekerjaan (percetakan kaos misalnya), pendidikan politik, dan lain sebagainya.

    Cost (antara lain): tingkat pengembalian dari investasi paling menguntungkan sumber-sumber daya (uang, tenaga, dsbnya) yang mestinya bisa diperoleh jika sumber daya itu tidak dipakai untuk kegiatan-kegiatan terkait pemilu. Selain itu, seperti anda sebutkan, kemungkinan korupsi untuk mengejar balik modal selama menjabat.

    Mudah-mudahan ini bisa memberikan sedikit gambaran mengenai kerangka analisa biaya-manfaat yang saya rasa lebih tepat.

    Soal bagaimana jika sifatnya kualitatif, saya pribadi tidak ada masalah, asal argumen kualitatif itu meyakinkan, dan sepanjang dalam kerangka CB yang seperti di atas. Jika hendak dibuat kuantitatif pun, ada beberapa metode ekonomi yang saya kira bisa membantu. Namanya economic valuation for non-market goods. Salah satu barista anda, Aco, belajar dan tahu banyak soal ini.

    Soal bagaimana mengatasi pengukuran antar-waktu --misalnya, baru bisa dinilai setelah 100 hari memimpin--, tentu saja dalam kerangka CB bisa dimasukkan faktor diskon, yang menunjukkan seberapa besar kemungkinan biaya atau manfaat itu terwujud, sehingga kita bisa memperoleh semacam angka net present value nya.

    ReplyDelete
  3. in my opinion, this is a matter of principle in the long term. even a huge cost won't be an issue as long as one group can (benefit) drive indonesia to a more liberalist, or socialist or pancasilaist or islamist or nationalist or anything, country. too general yes, but hey it's politics. a civil war has cost and benefit?

    ReplyDelete
  4. This piece from Teguh Dartanto on economic impact of election certainly worth deeper look than Yudi Latif's


    http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/30/Opini/krn.20090130.155262.id.html

    ReplyDelete
  5. A clear and useful analysis. Teguh Dartanto's, that is.

    ReplyDelete