Sunday, March 09, 2014

Apakah depresiasi nilai tukar riil (real exchange rate) Rupiah dapat membantu mengurangi defisit transaksi perdagangan (trade balance)?

Apa relevansinya? Teorinya adalah nilai tukar riil mencerminkan harga relatif produk Indonesia terhadap produk negara-negara lainnya. Mudahnya, nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal dikalikan harga produk negara-negara lain relatif terhadap harga produk Indonesia. Maka nilai tukar riil akan melemah (depresiasi) jika nilai tukar nominal melemah (seperti belakangan ini) atau harga produk Indonesia bersaing dibandingkan harga produk negara lainnya. Sebaliknya nilai tukar riil akan mengalami penguatan (apresiasi) jika nilai tukar nominal menguat (seperti Rp lari ke 8,000/USD) atau harga produk Indonesia mahal dibandingkan harga produk negara lainnya (seperti apel China yang lebih murah dari apel Malang bahkan di kota Malang sendiri).

Dalam literatur, penurunan nilai tukar riiil dianggap bisa membantu mengurangi defisit transaksi perdagangan (atau bahkan transaksi berjalan/current account) jika apa yang disebut "Marshal-Lerner condition" terpenuhi. Yakni jika kenaikan permintaan ekspor dan penurunan permintaan impor terjadi lebih besar dari depresiasi nilai tukar riil.

Memang, keluhannya adalah dalam periode awal penurunan nilai tukar riil, transaksi perdagangan bisa saja tetap defisit karena impor tidak bisa gampang digantikan oleh produk lokal sementara ekspor perlu waktu. Fenomena ini yang disebut dengan J-Curve

Apaka J-Curve berlaku untuk Indonesia? Karena tidak ada akses terhadap computable general equilibrium model (buatnya mahal dan rumit dengan resiko salah yang tinggi), saya gunakan vector autoreggresive (VAR) dengan error correction terhadap data bulanan dari 1999 - 2013. Dependent variables dari VAR ada dua, nilai tukar riil yang saya unduh dari situs web Bank of International Settlement (BIS) dan transaksi perdagangan dari BPS. Saya juga sertakan harga minyak mentah dunia untuk mengendalikan pengaruhnya terhadap tekanan defisit transaksi migas.

Hasilnya? J-Curve diperkirakan juga berlaku di Indonesia seperti yang ditunjukkan oleh gambar di bawah.

{Secara teknis saya run impulse response function yang praktis adalah impact multiplier dari sistem persamaan VAR}

Depresiasi nilai tukar riil Rupiah awalnya memperburuk transaksi perdagangan karena impor tidak serta-merta turun dan permintaan ekspor tidak langsung meningkat. Tetapi sejalan dengan waktu, permintaan ekspor meningkat. Coba saja cek toko-toko mebel di Kemang, mereka panen pesanan. Juga permintaan sepatu, produk otomotif, makanan dsb dari Indonesia meningkat. Sementara, permintaan impor melemah karena makin mahal, sehingga dampak positif terhadap transaksi perdagangan mulai terlihat (gambar di bawah). J-Curve sepertinya menyentuh limit threshold (batas). Sepertinya memang tidak semua impor bisa diganti dengan produk lokal sementara ekspor yang berdaya saing juga tetap memerlukan komponen impor (contoh gampangnya membuat IPhone China harus impor komponen dari berbagai negara).
 
Implikasinya? Biarkan depresiasi nominal Rupiah sendirinya membantu mengoreksi transaksi perdagangan melalui depresiasi riil nilai tukar. Intervensi untuk mengatur ekspor dan impor hanya akan menimbulkan inefisiensi. Kedua, jika ingin Rupiah tidak terlalu lemah tetapi transaksi berjalan tidak defisit, mau tidak mau kita harus perbaiki daya saing produk Indonesia - sayangnya ini gampang dibicarakan tapi sulit dilakukan.