Monday, September 01, 2008

Is Import Bad?

Kompas daily said (translated):
In 2000, Indonesia imported 6.037 million tons of wheat. Five years later, in 2005, wheat import increased by almost 10 percent to 6.589 million tons. In 2025, import of wheat is projected to increase three times as much to 18.679 million tons. Soybean import, in the last five years (2003-2007), amounted to on average 1.091 million tons or 60.5 percent of total need.
Good or bad news?

But before answer it, hold on a second, you should hear my story.
In 2000, I bought not a single vinyl LP from the record store next door. Eight years later, in 2008, my vinyl purchase increased a lot to, say, 100 LPs. In 2025, my purchase of LPs is projected to increase god-knows-how-many-times as much to 300 LPs. My comic purchase, in the last five years (2003-2007), amounted to on average 5 books, or 60.5 percent of my total need.
It is a very good news for me, don't you think? Although I run a trade deficit against those record and bookstores, every purchase I made or plan to make implies that I somehow have the money to pay them in order to get those stuffs. In fact, part of the reasons why I work, sell the product or services to anyone but myself (read: export), and earn the money, is to buy those LPs and comic for myself (read: import).

And on independency issue: of course I depend on them. I have to live with the fact that I can not make a record at all and even if I try to draw a comic book, it would be obviously way costlier for me than doing economics (in comparison to, perhaps, Art Spiegelman on comic drawing and economics). It's no dependency, it's just a free trade.

11 comments:

  1. Ah dasar mental neo-liberal luh!!! Memang sih import sah-sah aje, tapi kalo elu lebih banyak konsumsinya daripada invensi-nya ya bangsa elu bakalan jadi makanan empuk mulu. Sekarang misalnya kalau ada perang dan lu nggak bisa beli beras dari say Thailand or Vietnam or anyone else in this planet, nah elu mau beli ke Mars. Rubah dikit donk kacamata ekonomi elu!!!

    ReplyDelete
  2. Anonymous I didn't know that Martians grow rice. Thanks for the info.

    ReplyDelete
  3. good or bad, is depending on the price of the thing and the price of substitution of the thing.

    begitukah?

    ReplyDelete
  4. Bang Rizal, i agree that nothing wrong when we import a lot of stuff as long as we can afford it. and we know protection is bad as well.

    however, since this is food that we're talking about, which if i'm not mistaken is a strategic commodity like oil, shouldn't we better (in the long run) be at least subsistent?

    it can be a vital instrument in a larger political economy, no?

    from that point of view i think we can understand why the US invaded Iraq.

    for the time being, since we're already dependent on rice production, we should think of invading the Martians I guess...

    cheers

    ReplyDelete
  5. fajar, I am not sure I get what you mean. But, if you decide to buy a bowl of tongseng in FEUI refectory (after looking at the money in your pocket), don't you expect a higher utility than otherwise not buying it?

    sudra, the problem: what is a strategic commodity? Who defines that X is strategic, but Y isn't?

    The good thing about trade is that you do not discriminate your trading partner based on race, nationality, citizenship, gender, etc --even a trade with Martian will do. Why? Because if you do so, you'll end up with an inefficient higher price to pay. Also, unlike war (or coercion), trade is not a zero-sum game.

    I think trade is one of underrated human institutions. It brings what you need onto your table without coercion/violence/war/involuntary forces. But many of us fail to appreciate this genius human invention.

    ReplyDelete
  6. Rizal,

    Sekali lagi, secara teoritis apa yang kau tulis dalam comment terakhir itu bagus dan kau akui juga bahwa manusia banyak yang gagal menghargai apa yang kau khayalkan itu. Tapi dunia ini nngak cuma textbook game theory doank. Nah, masalah yang elu tanya apa yang membuat sesuatu strategis dan yang lain nggak mestinya elu sebagai ekonom yang masih makan nasi juga tahu. Inilah mental ekonom textbook yang nggk mau keluar berpikir outside the box. Sekarang banyak yang bilang pertumbuhan Indonesia bagyus, tapi miskinnya juga berjubel, apa-apa sudah dibeli bukan karena ngga ada barangnya tapi ngga ada duit buat orang miskin beli makanan. Jadi, cobalah jangan kacamata kuda melulu. HANURA-mu pasti tahu itu. Kalau ekonom kaca mata kuda begini masih banyak nggak heran, kalau cuma bisa mengeluarkan keputusan impor saja setiap ada shortage barang. Ape elu pikir ini bangsa punya duit terus. Lahan pertanian juga banyak berubah jadi apartemen yang beberapa diantaranya dihuni para ekonom kacamata kuda model begini. Ngak perlu tanam padi kalau bisa impor, bah kata ekonom kacamata kuda.

    Martian People

    ReplyDelete
  7. Hi Marvin the Martian:

    1. Betul bahwa orang miskin masih banyak. Tapi yang jelas terjadi penurunan; bahkan sekarang tingkat kemiskinan ada di bawah level sebelum krisis. Kita bisa berdebat apakah ini benar atau tidak, tapi marilah kita berangkat dari statistik yang ada.

    2. Poin anda betul sekali -- harga pangan yang tidak terjangkau. Masalahnya, apakah dengan membatasi impor pangan (beras, gula dll) maka itu berarti bagus buat kelompok miskin? Apakah itu akan membuat harga pangan lebih terjangkau?

    3. Karena pangan memang strategis, justri itu orientasi kebijakan pangan adalah pada ketersediaan dan harga. Lepas dari impor atau tidak.

    4. Setahu saya, pertumbuhan apartemen ada di daerah perkotaan, dan lahan yang diambil bukanlah lahan pertanian.

    5. Jika anda lebih tidak emosional, banyak counter-argument yang lebih 'smart' buat Rizal. Salah satunya adalah apakah kenaikan impor terjadi karena permintaan yang terus naik, atau karena supply yang turun. Kalau yang pertama, mungkin memang baik seperti kata Rizal. Kalau yang kedua, bisa baik kalau memang terjadi alokasi sumber daya ke sektor2 lain yang lebih produktif dan punya nilai tambah besar. Bisa buruk kalau memang ini mencerminkan problem struktural.

    5. Rizal spesifik bicara soal kedelai dan terigu, yang sejak lama memang kita sudah jadi net importir dan bukan komoditas pertanian utama kita. Jadi argumen komoditas strategi di sini tidak relevan (apalagi anda bilang, kita makan nasi).

    ReplyDelete
  8. Martian, I think a.p has explained it very well (in plain well-versed Bahasa Indonesia). Thanks, pe

    ReplyDelete
  9. Bapak saya sekarang menanam "kacang hijau'. Dan di kota Demak dekat kota saya (Pati) sekarang panen buah Blewah. (apa artinya? tolong dipikir sendiri (coz saudara anonim perlu banyak berfikir, biar tidak emosional, saya dulu juga gitu (saat masih belum belajar banyak,ha2)))

    Barangkali Bung Anonim yg "sosialis" anti neolib itu perlu lagi turun ke lapangan.

    Jangan hanya baca statistik doank!

    Salam
    Giy

    ReplyDelete
  10. Oh ya, kalau diamati secara jeli. 'kompas' kok pandangannya 'sosialis'.

    Barangkali wartawannya perlu banyak belajar.

    ReplyDelete
  11. oh ya, kok saya lupa mengomentari tulisan ini. Menurut saya, "impor" atau tidak itu bukan masalah.

    Yg jadi masalah ketika yg melakukannya adalah "Negara". kalau begitu mampuslah Bapak gw!

    Alasannya, cuma bisnessman lah yg dapat mengalkulasi "harga" yg pas buat mengambil keputusan apakah perlu 'mengimpor' "bahan-bahan" pertanian dari luar negeri ato tidak.

    Sekali lagi, kalau yg melakukan negara, mampuslah org2 produktif di negeri kita!

    Kalau pandangan saya pribadi, saya orgnya anti neolib dan juga antis sosialis. Gimana?

    Salam.

    ReplyDelete