Wednesday, June 18, 2008

Discussion: World Inequality

Kesenjangan Pendapatan di Dunia: Mengapa?

Sebagaimana yang telah menjadi diskusi serius, kita memang hidup di dunia yang tidak merata. Menurut Branko Milanovic (1999), 25% penduduk terkaya di dunia menikmati 75% pendapatan dunia. Dalam konteks antarnegara, rata-rata pendapatan per kapita 20 persen negara terkaya mencapai 25 kali pendapatan per kapita 20 persen negara termiskin di tahun 2000.

Namun sebuah potret yang diambil pada satu waktu tentu tidak bisa bicara banyak. Ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan: 1) Bagaimana kecenderungan kesenjangan pendapatan dari waktu ke waktu? 2) Mengapa terjadi kesenjangan? 3) Apakah kesenjangan pendapatan adalah sesuatu yang tidak terelakkan? 4) Apakah kita harus fokus pada menghilangkan kesenjangan, atau pada peningkatan kesejahteraan penduduk di bagian terbawah distribusi pendapatan?

Freedom Institute, Friedrich Naumann Stiftung, dan Café Salemba kembali akan mengadakan sebuah diskusi ekonomi, kali ini dengan topik di atas. Tempat di Freedom Institute, Jalan Irian No. 8, Menteng, Jakarta, hari Kamis 19 Juni 2008, 18.00 - 21.00, bersama Ari A. Perdana (FEUI, Café Salemba) dan Teguh Yudo Wicaksono (CSIS, Ruang 413) dan moderator Hamid Basyaib (Freedom Institute).

Bagi anda yang berminat untuk hadir dalam diskusi tersebut dapat menghubungi Freedom Institute, dengan kontak: Tata atau Imie pada nomor telp. 021 3190 9226.

1 comment:

  1. Reading Rizal's post, I laugh too. I suddenly recall a professor - allegedly a programatic advisor to the german (neo)liberal party, the FDP.

    In Indonesia, FDP operates through its political foundation, the Friedrich Naumann Stiftung (FNS).

    FNS is a comrade in arms of Freedom Institute and, these days, perhaps, Cafe Salemba. FNS is a brilliant supporter of the country's liberal epistemic community. It, among others,
    facilitated a recent discussion about poverty with speakers including from Cafe Salemba.


    Ach ja, the professor. That friendly liberal professor disagrees with Marx on many counts. However, he told me, more or less, "One should treat Marx with respect once one talk about him."

    He continued, adding, "simply to avoid the risk of being laughing stocks."

    No one reads Marx's publications. His books are mostly thick and boring. That aside, maybe for idiological reasons?

    I'm not sure. In Indonesia, very few - if any - seem to read Adam Smith too.

    - nomor delapan

    ReplyDelete